Kolom Update — Emiten sektor property properti pengembang hunian primerim di atas Rp 5 miliar di prediksi paling di untungkan tahun 2026, seiring dengan peningkatan permintaan segmen tersebut. Adapun, emiten subsektor kawasan industri di nilai masih sangat bergantung pada pipeline masing-masing emiten di tengah minimnya katalis investasi asing (FDI).
Hal ini mendorong BRI Danareksa Sekuritas untuk mempertahankan rekomendasi overweight (OW) saham emiten sektor property dengan pilihan utama saham CTRA dan SSIA, seiring valuasi yang masih terdiskon dalam. Valuasi saat ini di nilai sebagai titik masuk menarik bagi investor, terutama setelah koreksi sektor sebesar –8% sejak September 2025 yang di picu ekspektasi pemangkasan suku bunga yang memudar dan aksi ambil untung oleh dana lokal.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Ismail Fakhri Suweleh dan Wilastita Muthia Sofi mengatakan, dari hasil diskusi terbaru dengan para pengembang, permintaan hunian yang sebelumnya di dominasi segmen Rp 1–5 miliar kini mulai melemah. Kontribusi penjualan pra-penjualan (pre-sales) segmen ini turun dari 69% pada 2023, menjadi 68% tahun 2024, dan kembali turun menjadi 66% hingga September 2025.
Sebaliknya, permintaan segmen premium di atas Rp 5 miliar menunjukkan kenaikan signifikan dengan kontribusi meningkat dari 23% tahun 2023 menjadi 20% pada 2024, dan kembali meningkat menjadi 29% hingga September 2025. Secara keseluruhan, BRI Danareksa Sekuritas menyebutka, pre-sales property tahun 2026 dan 2027 di prediksi bertumbuh masing-masing 4% setelah pertumbuhan FY23/FY24/FY25 sebesar +9%/+4%/-3%.
“Para pengembang mulai mengarahkan peluncuran proyek tahun depan ke segmen premium tersebut, meskipun insentif PPN di perpanjang penjualan rumah di bawah Rp 2 miliar di perpanjang hingga 2027,” tulisnya.
Penjualan property, terang BRI Danareksa Sekuritas, juga bakal di pengaruhi faktor makro dan likuiditas. Investor juga menaruh perhatian besar pada arah kebijakan suku bunga. Dengan perubahan di namika permintaan, urutan preferensi saham residensial di revisi menjadi CTRA > BSDE > SMRA > PWON, dengan bobot lebih besar pada eksposur produk dengan harga di atas Rp 5 miliar.
Sementara itu, berebeda dengan emiten sektor kawasan industri masih menghadapi minimnya katalis dari arus FDI. Kompetitivitas tenaga kerja, kepastian hukum, penanganan fraud, dan tingkat pajak yang kurang kompetitif menjadi tantangan. Tarif pajak perusahaan Indonesia (22%) lebih tinggi dibanding Thailand dan Vietnam (20%), serta Singapura (17%).
Dengan kondisi tersebut, penjualan lahan industri sangat bergantung pada pipeline masing-masing emiten, terutama kemampuan menarik anchor tenants yang dapat memicu kedatangan tenant turunan. Dalam riset, SSIA dinilai lebih unggul di banding DMAS berkat sejumlah keunggulan structural. Di antaranya, prospek jangka panjang Subang sebagai hub kendaraan listrik (EV), tenaga kerja biaya rendah (UMR Rp 3,5 juta per bulan, lebih rendah 37% dari Karawang/Bekasi).
SSIA juga di dukung akses langsung ke pasar Jakarta melalui Tol Cipali–Patimban, kontribusi bisnis non-lahan yang kuat (sekitar 34% dari laba kotor), dan landbank lebih besar, sekitar 1.500 ha (vs DMAS 120 ha), membuka peluang penjualan besar.