Kolomupdate.com — Amerika Serikat (AS) dan China tengah terlibat dalam persaingan sengit untuk memperebutkan dominasi di sektor teknologi global. Rivalitas ini semakin intens sejak kemunculan dan pesatnya perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), yang dinilai akan menjadi penentu kekuatan ekonomi, militer, dan geopolitik dunia di masa depan. AI bukan lagi sekadar inovasi teknologi, melainkan aset strategis yang mampu mengubah peta kekuatan global.
AS selama ini dikenal sebagai pusat inovasi teknologi dunia. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Google, Microsoft, OpenAI, Meta, dan NVIDIA menjadi motor penggerak utama pengembangan AI. Dukungan ekosistem riset yang kuat, modal besar, serta kolaborasi antara universitas dan industri membuat AS berada di garis depan inovasi. Pemerintah AS pun secara aktif mendorong pengembangan AI melalui pendanaan riset dan kebijakan strategis, sekaligus mengatur penggunaan teknologi ini agar tetap sesuai dengan nilai dan kepentingan nasional.
Di sisi lain, China tidak tinggal diam. Pemerintah China menjadikan AI sebagai prioritas nasional melalui berbagai kebijakan jangka panjang. Negara tersebut menargetkan diri sebagai pemimpin global AI dalam beberapa dekade mendatang. Perusahaan teknologi China seperti Baidu, Alibaba, Tencent, dan Huawei menggelontorkan investasi besar untuk riset dan pengembangan AI. Dengan dukungan data dalam skala masif dan pasar domestik yang besar, China memiliki keunggulan tersendiri dalam mempercepat adopsi teknologi AI.
Persaingan kedua negara tidak hanya terjadi pada pengembangan perangkat lunak AI, tetapi juga pada penguasaan infrastruktur pendukungnya. Salah satu medan utama konflik adalah industri semikonduktor atau chip. Chip canggih menjadi komponen vital dalam menjalankan sistem AI, mulai dari pusat data hingga perangkat militer. AS berupaya membatasi akses China terhadap teknologi chip mutakhir melalui kebijakan pembatasan ekspor dan sanksi terhadap perusahaan tertentu. Langkah ini bertujuan menjaga keunggulan teknologi AS sekaligus menahan laju kemajuan China.
China merespons pembatasan tersebut dengan mempercepat upaya swasembada teknologi. Investasi besar diarahkan untuk membangun industri chip domestik dan mengurangi ketergantungan pada teknologi asing. Meski menghadapi tantangan besar, langkah ini menunjukkan tekad China untuk tetap bersaing dan tidak bergantung pada negara lain dalam pengembangan teknologi strategis. Persaingan AS dan China dalam AI juga merambah ke ranah militer dan keamanan. Teknologi AI berpotensi meningkatkan kemampuan sistem persenjataan, pengawasan, dan pertahanan siber. Kedua negara berlomba mengintegrasikan AI ke dalam strategi pertahanan nasional mereka. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran global terkait potensi perlombaan senjata berbasis AI dan risiko penyalahgunaan teknologi.
Dampak dari “perang teknologi” ini tidak hanya dirasakan oleh AS dan China, tetapi juga oleh negara lain. Banyak negara terjebak di tengah persaingan dua kekuatan besar ini, terutama dalam hal kerja sama teknologi, investasi, dan regulasi data. Perusahaan global pun harus menyesuaikan strategi bisnis mereka dengan kebijakan dan standar teknologi yang berbeda di masing-masing negara. Di tengah persaingan yang memanas, sejumlah pihak menyerukan pentingnya kerja sama internasional dalam pengembangan AI yang bertanggung jawab.
Tantangan global seperti etika AI, keamanan data, dan dampak sosial teknologi membutuhkan pendekatan kolaboratif. Namun, selama AI masih dipandang sebagai kunci dominasi global, persaingan antara AS dan China diperkirakan akan terus berlanjut. Kemunculan AI telah mengubah persaingan teknologi menjadi arena strategis yang menentukan masa depan dunia. “Perang” teknologi antara AS dan China bukan sekadar soal inovasi, melainkan tentang siapa yang akan memegang kendali atas teknologi paling berpengaruh di abad ke-21.