Kolom Update — Dalam sebuah penerbangan menuju Hong Kong pada tahun 1975, dua tokoh bisnis besar Indonesia secara tak terduga bertemu: Sudono Salim, yang juga dikenal sebagai Liem Sioe Liong, dan Mochtar Riady. Pertemuan itu tampak sederhana pada awalnya, namun kemudian menjadi momen penting yang mengubah lanskap perbankan Indonesia. Keduanya duduk berdampingan di kabin pesawat, dan tanpa rencana khusus, mereka mulai berbincang tentang berbagai hal, termasuk pengalaman dan pandangan mereka mengenai dunia perbankan yang saat itu sedang tumbuh pesat di tanah air.
Dalam percakapan tersebut, Mochtar Riady mengungkapkan ambisinya untuk membangun sebuah bank baru. Ia memiliki visi tentang bagaimana perbankan modern seharusnya di kelola, dengan prinsip manajemen yang profesional dan inovatif. Riady juga menunjukkan ketertarikannya untuk membawa pendekatan baru dalam dunia perbankan Indonesia, yang saat itu masih didominasi oleh model lama dan jaringan bisnis tradisional. Mendengar hal itu, Sudono Salim memperhatikan dengan seksama. Ia sendiri sedang mencari sosok yang mampu mengelola tiga bank besar miliknya, yaitu Bank Windu Kencana, Bank Dewa Ruci, dan Bank Central Asia (BCA).
Salim menyadari bahwa keberhasilan sebuah bank tidak hanya di tentukan oleh modal atau jaringan bisnis, tetapi juga oleh manajemen yang tepat. Di tengah perbincangan itu, Salim melihat sesuatu pada diri Riady kombinasi antara ambisi, visi, dan kemampuan manajerial yang bisa membantunya membawa bank-bank miliknya ke level berikutnya. Dari kepentingan yang saling bertemu itu, keduanya akhirnya sepakat untuk bekerja sama, membuka jalan bagi perubahan besar di dunia perbankan Indonesia. Keputusan ini tidak di ambil secara gegabah. Salim, yang di kenal sebagai seorang pengusaha penuh perhitungan, mempertimbangkan banyak aspek—termasuk rekam jejak Riady, kepercayaan diri, dan pendekatan profesional yang di milikinya.
Di bawah kepemimpinan Mochtar Riady, BCA berkembang pesat. Riady memperkenalkan sistem manajemen modern dan inovasi layanan perbankan yang belum banyak di terapkan di Indonesia pada masa itu. Fokusnya pada efisiensi, transparansi, dan profesionalisme membawa BCA menjadi bank swasta terbesar di Indonesia, mulai dari era 1980-an hingga kini. BCA tidak hanya menjadi bank pilihan masyarakat untuk menabung atau meminjam, tetapi juga menjadi simbol kesuksesan manajemen profesional di tengah dominasi konglomerasi keluarga yang menguasai sebagian besar sektor bisnis di Indonesia.
Dampak keputusan Sudono Salim untuk memilih Riady sebagai pengelola BCA juga sangat luas. Pertemuan kebetulan itu, jika di ganti oleh skenario lain, mungkin akan menghasilkan sejarah yang berbeda. Bisa jadi BCA tidak akan menjadi institusi perbankan raksasa seperti sekarang, atau bahkan mungkin akan di kelola dengan cara yang berbeda, tanpa inovasi dan pertumbuhan yang cepat. Keberhasilan ini menunjukkan betapa pentingnya visi dan pemilihan orang yang tepat dalam dunia bisnis, di mana satu keputusan strategis bisa mengubah arah sejarah perusahaan, dan bahkan memengaruhi perekonomian negara secara keseluruhan.
Selain itu, kisah ini juga menggarisbawahi pentingnya kesempatan dan keberanian dalam dunia bisnis. Pertemuan sederhana di pesawat itu, yang terlihat sepele, menjadi titik awal sebuah kolaborasi monumental. Riady mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya, sementara Salim mendapatkan figur yang dapat menjalankan visi bisnisnya dengan tepat. Hubungan ini menjadi fondasi bagi perkembangan perbankan modern di Indonesia, yang kini mampu bersaing secara regional maupun global.
Sejarah BCA, yang tumbuh dari keputusan strategis sederhana tersebut, kini menjadi pelajaran berharga bagi para pengusaha dan profesional: bahwa kesuksesan bisnis sering kali lahir dari kombinasi antara visi, kesempatan, dan keputusan tepat pada waktu yang tepat. Pertemuan di pesawat pada tahun 1975 itu bukan sekadar kebetulan, melainkan titik awal dari perjalanan panjang yang membentuk wajah perbankan Indonesia modern seperti yang kita kenal sekarang.