Kolom Update — Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia untuk Provinsi Bali menunjukkan adanya tren kenaikan harga properti residensial yang masih berlanjut hingga triwulan III 2025. Hal ini tercermin dari Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) triwulan III 2025 yang tercatat tumbuh sebesar 1,08 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan IHPR pada triwulan II 2025 yang hanya sebesar 0,67 persen (yoy). Kenaikan ini menandakan adanya dinamika pasar properti yang relatif positif di Bali, yang di dorong oleh permintaan yang masih cukup kuat dari masyarakat maupun investor.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Erwin Soeriadimadja, dalam keterangan pers tertulisnya menekankan bahwa tren peningkatan harga properti ini mencerminkan masih tingginya minat masyarakat terhadap hunian residensial di Bali. Menurutnya, meskipun harga properti mengalami kenaikan, penting untuk tetap menjaga keseimbangan antara pertumbuhan harga, ketersediaan lahan, serta akses pembiayaan. Hal ini bertujuan agar pasar properti di Bali tetap inklusif dan stabil bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga memudahkan masyarakat untuk memiliki hunian yang layak.
Analisis terhadap pertumbuhan IHPR pada periode triwulan III 2025 menunjukkan bahwa kenaikan harga terjadi pada ketiga tipe properti residensial, yakni tipe kecil, tipe menengah, dan tipe besar. Rumah tipe kecil, dengan luas bangunan hingga 36 m², mengalami kenaikan harga sebesar 1,66 persen (yoy). Sementara itu, rumah tipe menengah dengan luas bangunan antara 36–70 m² naik sebesar 1,12 persen (yoy), dan rumah tipe besar dengan luas bangunan lebih dari 70 m² meningkat sebesar 0,82 persen (yoy). Dari data ini terlihat bahwa kenaikan harga paling tinggi terjadi pada rumah tipe kecil, yang kemungkinan di pengaruhi oleh permintaan yang tinggi dari kalangan pembeli dengan daya beli terbatas atau masyarakat yang mencari hunian pertama.
Kenaikan harga properti residensial tersebut sebagian besar di pengaruhi oleh meningkatnya harga faktor produksi. Mayoritas responden SHPR menyebutkan bahwa kenaikan harga bahan bangunan, seperti semen, baja, dan kayu, serta upah tenaga kerja konstruksi menjadi faktor utama yang mendorong peningkatan harga unit rumah. Hal ini sejalan dengan tren nasional yang menunjukkan kenaikan biaya konstruksi akibat inflasi bahan bangunan dan keterbatasan pasokan tenaga kerja terampil di sektor konstruksi.
Selain itu, data menunjukkan adanya perubahan pola penjualan rumah berdasarkan tipe properti. Pada triwulan III 2025, pangsa penjualan rumah tipe besar mengalami peningkatan sebesar 0,7 persen di bandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan tingginya permintaan terhadap rumah berukuran besar, baik sebagai hunian pribadi maupun sebagai instrumen investasi. Di sisi lain, pangsa penjualan rumah tipe menengah tercatat menurun sebesar 0,7 persen, sementara rumah tipe kecil relatif stabil tanpa perubahan signifikan. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran preferensi konsumen, di mana rumah tipe besar menjadi pilihan utama di tengah meningkatnya daya beli dan minat investasi properti di Bali.
Meski tren harga properti residensial cenderung meningkat, terdapat sejumlah faktor yang masih menjadi kendala dalam penjualan properti primer di Bali. Beberapa di antaranya adalah suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang masih relatif tinggi, keterbatasan lahan untuk pengembangan properti baru, besaran uang muka yang cukup besar, serta kenaikan harga bahan bangunan. Faktor-faktor ini berpotensi menekan daya beli masyarakat, terutama bagi pembeli pertama yang memiliki keterbatasan dana. Oleh karena itu, pengembang dan pihak terkait diharapkan dapat mencari solusi kreatif, misalnya melalui skema pembiayaan fleksibel atau pengembangan kawasan properti yang efisien dan ramah lingkungan, agar pertumbuhan pasar tetap berkelanjutan.
Secara keseluruhan, data SHPR dan IHPR triwulan III 2025 menunjukkan bahwa pasar properti residensial di Bali masih mengalami pertumbuhan yang positif. Kenaikan harga yang terjadi pada berbagai tipe rumah mencerminkan permintaan yang stabil, meskipun ada tantangan berupa kenaikan biaya produksi dan keterbatasan lahan. Dengan pengelolaan yang baik, termasuk menjaga keseimbangan antara harga, ketersediaan lahan, dan akses pembiayaan, pasar properti di Bali berpotensi tetap inklusif, stabil, dan menarik bagi masyarakat maupun investor. Hal ini menjadi sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi Bali yang berbasis properti residensial, serta mendorong pembangunan hunian yang berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat.