Kolom Update — Persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan China kini telah bergeser secara definitif ke arena teknologi, menciptakan medan perang baru yang jauh lebih ganas daripada sengketa tarif atau militer konvensional. Bukan lagi soal jet tempur atau kapal induk, “senjata” terbaru China melawan dominasi AS adalah keunggulan strategis dalam teknologi-teknologi fundamental yang akan mendefinisikan abad ke-21.
Fokus utama Beijing kini tertuju pada semikonduktor, kecerdasan buatan (AI), dan komputasi kuantum. Menyusul sanksi berat dari Washington yang membatasi akses China ke chip canggih, terutama yang di gunakan untuk pelatihan model AI, China merespons maka dengan menginvestasikan ratusan miliar dolar dalam program mandiri yang ambisius. Tujuannya adalah mencapai swasembada total. Memutus ketergantungan pada teknologi Barat sebuah langkah yang diibaratkan sebagai penciptaan pagar teknologi sendiri.
Dalam bidang AI, perusahaan-perusahaan raksasa China seperti Baidu. Tencent. Dan Huawei berlomba menciptakan model bahasa besar (LLM) tandingan GPT-4 milik OpenAI. Kemajuan ini didukung penuh oleh pemerintah yang melihat AI sebagai kunci untuk segala hal. Mulai dari pengawasan sipil, modernisasi militer (termasuk drone otonom), hingga dominasi ekonomi global. AI menjadi alat ganda: pendorong produktivitas sekaligus komponen inti dari kekuatan militer masa depan.
Di Balik Tirai Besi Digital: Senjata Baru China Menggugat Dominasi Teknologi AS
Namun, senjata China yang paling mencolok dan berpotensi mengubah peta permainan adalah penguasaan bahan baku dan rantai pasokan. Beijing mendominasi produksi mineral tanah jarang komponen vital untuk chip canggih. Kendaraan listrik, dan teknologi militer presisi serta memimpin produksi baterai dan panel surya. Kontrol ini memberikan China tuas ekonomi yang signifikan untuk menekan AS dan sekutunya.
Perang teknologi ini bukanlah sprint. Melainkan maraton yang di dukung oleh kebijakan negara yang terpusat di China, berhadapan maka dengan inovasi yang di dorong oleh sektor swasta di AS. Washington merespons maka dengan Undang-Undang CHIPS and Science Act dan berbagai pembatasan ekspor, berusaha mempertahankan keunggulan kritisnya.
Intensitas persaingan ini menjanjikan disrupsi besar pada rantai pasokan global dan bisa memecah dunia menjadi dua ekosistem teknologi yang berbeda: satu yang berpusat di AS dan lainnya di China. Perang teknologi telah resmi makin ganas. Dan hasilnya akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin teknologi dan ekonomi dunia di masa depan.